Jalan tol, yang dirancang sebagai akses transportasi yang memudahkan mobilitas masyarakat, kerap menjadi arena kebut-kebutan bagi segelintir pengendara. Akibatnya, alih-alih menjadi jalan yang aman dan nyaman, jalan tol justru berubah menjadi ranjau berbahaya bagi pengguna lainnya.
Menurut Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), fenomena kebut-kebutan di jalan tol ini dilatarbelakangi oleh dua faktor utama. Pertama, anggapan pengendara yang keliru bahwa jalan tol bebas dari hambatan dan lalu lintas yang padat. Kedua, minimnya pemahaman masyarakat akan risiko dan dampak buruk dari mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Anggapan bahwa jalan tol kosong dan bebas hambatan menyebabkan pengendara merasa leluasa memacu kendaraannya tanpa mengindahkan batas kecepatan. Padahal, di balik ilusi kekosongan tersebut, terdapat pengguna jalan lain yang mungkin muncul secara tiba-tiba atau kondisi jalan yang tidak terduga.
Kurangnya kesadaran akan risiko kebut-kebutan memperburuk situasi. Pengendara tidak menyadari bahwa kecepatan tinggi akan mempersulit mereka mengendalikan kendaraan, memperpanjang jarak pengereman, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan fatal.
Selain faktor internal, faktor eksternal juga berperan dalam maraknya kebut-kebutan di jalan tol. Ketegasan aparat penegak hukum yang kurang dalam menindak pelanggar batas kecepatan menjadi salah satu penyebabnya. Padahal, penindakan tegas sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera dan membangun budaya keselamatan di jalan raya.
Peran serta masyarakat juga tidak kalah penting. Edukasi secara berkala dan sosialisasi tentang bahaya kebut-kebutan harus terus dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan di jalan tol.
Dengan perpaduan upaya dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, fenomena kebut-kebutan di jalan tol dapat dikurangi secara signifikan. Jalan tol akan kembali menjadi akses transportasi yang aman, nyaman, dan dapat dinikmati oleh seluruh pengguna jalan.