Jakarta, Otomania – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pabrikan otomotif untuk menyematkan teknologi hybrid pada mobil Low Cost Green Car (LCGC). Usulan ini didasari oleh penjualan LCGC yang tinggi di Indonesia dan kebutuhan untuk mengurangi emisi serta meningkatkan ketahanan energi.
Direktur Industri Alat Transportasi Darat Kemenperin, Dodiet Prasetya, mengatakan bahwa peningkatan teknologi pada LCGC dapat meningkatkan pencapaian yang sudah ada, serta berkontribusi pada penurunan emisi dan ketahanan energi.
"Kami ingin meningkatkan apa yang sudah efisien menjadi lebih efisien," ujar Dodiet.
Gagasan ini mendapat dukungan dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menilai bahwa LCGC saat ini tidak lagi layak disebut murah. Oleh karenanya, penambahan teknologi hybrid seharusnya bukan menjadi masalah.
"Karena mobil ini bukan low cost lagi, dibandingkan yang lain juga emisinya sudah tinggi. Mau baru atau lama, kalau produknya bisa diminati konsumen, ya menarik," kata Kukuh.
Namun, PT Toyota Astra Motor (TAM) memberikan pandangan yang lebih realistis. Direktur Pemasaran TAM, Anton Jimmi Suwandy, menyebutkan bahwa penerapan teknologi hybrid pada LCGC akan menaikkan harga jual.
"Karena hybrid itu kan menambah harga juga ya, jadi kita harus pelajari dengan baik," ujar Anton.
Lebih lanjut, Anton menjelaskan bahwa saat ini belum ada platform LCGC yang mendukung penggunaan teknologi hybrid. Hal ini perlu dipelajari lebih lanjut jika usulan tersebut benar-benar diterapkan.
Di sisi lain, Toyota telah menunjukkan inovasi dengan memamerkan mobil yang dapat menggunakan bioetanol. Di antaranya adalah Toyota Agya dan Toyota Calya yang diuji coba menggunakan bioetanol E10.
Inovasi dan solusi cerdas seperti ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan lingkungan dan ketahanan energi. Teknologi hybrid pada LCGC berpotensi menjadi jawaban untuk mengurangi emisi tanpa mengorbankan keterjangkauan bagi masyarakat.