Jakarta, – Bea balik nama kendaraan bekas (BBN2) kerap dianggap memberatkan bagi pemilik kendaraan. Tak sedikit yang enggan melakukan balik nama dan memilih menunggu pemutihan. Namun, ini menjadi bumerang karena bisa berujung pada penghapusan data kendaraan.
"Gue beli mobil lo, atas nama lo, gue mau balik nama ke gue. Tapi pajak udah nggak bisa di acc, berarti kan ah nanti aja lah, gue tunggu pemutihan aja lah," kata Dirregident Korlantas Polri, Yusri Yunus, menggambarkan kondisi ini.
Akibatnya, banyak pemilik kendaraan bekas yang menunda balik nama hingga bertahun-tahun. Ini berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan membayar pajak kendaraan. Padahal, Yusri menegaskan, masyarakat sebenarnya memiliki keinginan untuk membayar pajak, tetapi terhalang biaya yang tinggi.
"Kalau bayar pajak semua pasal 74 nggak berlaku, nggak ada yang dihapus dong, jadi nyambung semua nih," ujarnya.
Pasal 74 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) menyatakan, data kendaraan yang STNK-nya mati dan tidak diperpanjang selama dua tahun berturut-turut dapat dihapuskan. Data kendaraan yang telah dihapuskan tidak dapat didaftarkan ulang.
Untuk mengatasi masalah ini, Yusri mendorong penghapusan bea balik nama kendaraan bekas di seluruh provinsi. Selain itu, pajak progresif juga perlu ditiadakan.
"Kalau progresif jadi nol berarti orang pada balik nama semua dong, gue juga di Pasal 74 yang ayat 2-nya mau dihapusin, orang udah bayar pajak jadi nggak jadi. Nyambung semuanya. Sekarang kewenangan di gubernur," tegasnya.
Dengan dihapuskannya bea balik nama dan pajak progresif, masyarakat diharapkan lebih patuh dalam membayar pajak kendaraan. Hal ini tidak hanya meningkatkan pemasukan negara, tetapi juga mencegah penghapusan data kendaraan.
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas dalam menyosialisasikan kebijakan ini dan memastikan penerapannya berjalan efektif. Dengan begitu, masyarakat dapat memenuhi kewajiban pajak kendaraan mereka dan memiliki kendaraan yang terjamin legalitasnya.