Kecelakaan maut akibat truk rem blong kembali terjadi di jalanan Indonesia, menyisakan duka yang mendalam bagi para korban dan keluarga mereka. Tragedi ini mengungkap sebuah masalah kronis dalam industri transportasi kita: rendahnya kompetensi pengemudi truk.
Menurut Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), banyak pengemudi truk yang tidak memahami cara mengoperasikan rem kendaraan mereka dengan benar. Dalam kecelakaan di Tol Cipularang KM 92, kegagalan pengereman diduga disebabkan oleh penggunaan gigi tinggi dan pengereman menggunakan pedal rem saja, tanpa memanfaatkan perlambatan dari mesin dan rem knalpot.
Mirisnya, materi mengenai pengereman truk tidak diujikan dalam ujian memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) B. Bahkan, sertifikasi khusus bagi pengemudi truk pun tidak ada. Akibatnya, pengemudi truk tidak mendapatkan pelatihan yang memadai tentang cara mengatasi situasi darurat, seperti rem blong.
"Program mitigasi harus dilakukan dari hulu," tegas Ahmad Wildan, Senior Investigator KNKT. "SKKNI pengemudi bus dan truk perlu diperbaiki, dan mekanisme pengambilan SIM B1 dan B2 perlu diubah."
Kegagalan pemerintah dalam memastikan kompetensi pengemudi truk berdampak fatal. Nyawa melayang sia-sia akibat kelalaian yang dapat dicegah. Selain pelatihan yang memadai, diperlukan juga peningkatan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.
Operator truk harus bertanggung jawab memberikan pelatihan yang sesuai standar kepada pengemudi mereka. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan industri terkait untuk mengembangkan kurikulum pelatihan yang komprehensif dan memfasilitasi akses pengemudi truk ke pelatihan tersebut.
Kecelakaan truk rem blong yang berulang menjadi pengingat keras bahwa keselamatan di jalan raya adalah tanggung jawab bersama. Ketika kompetensi pengemudi diabaikan, konsekuensinya sangat besar. Sudah saatnya kita mengambil tindakan tegas untuk memastikan bahwa setiap pengemudi truk memiliki keterampilan yang mumpuni untuk mengendalikan kendaraan mereka dengan aman di jalanan Indonesia.