Oleh: [Nama Anda]
Transisi energi di Indonesia menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Pemerintah gencar mendorong peralihan dari mobil bensin ke mobil listrik sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, pakar mengingatkan bahwa sumber utama pembangkit listrik, yaitu batu bara, juga perlu menjadi perhatian.
Dr. Alloysius Joko Purwanto, Ekonom Energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), menyatakan bahwa meskipun penjualan mobil listrik mencapai 100%, pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) masih di bawah satu persen jika energi pembangkit tetap didominasi batu bara.
"Emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan listrik terutama di pembangkit (batu bara) begitu besar," ujar Purwanto.
Pakar juga mewanti-wanti agar tidak terlena dengan mobil hybrid dalam mengejar target NZE (Net Zero Emissions) 2060. Meskipun konsumsi BBM lebih rendah dan emisi lebih ramah lingkungan, mobil hybrid tidak dapat menjadi solusi jangka panjang.
"Saran saya jangan sampai kita tidak punya target kapan berhentinya, kapan kita switch-nya. Karena jangan sampai transisi terus, akhirnya tidak pernah berubah," kata Prof. Deendarlianto, Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM).
Keunggulan hybrid memang terletak pada konsumsi bahan bakar yang efisien dan emisi yang lebih baik dari mobil konvensional. Namun, studi menunjukkan bahwa dalam kondisi di mana bauran energi masih 60% batu bara, hybrid lebih bersih dibandingkan mobil listrik murni.
"HEV (Hybrid Electric Vehicles) punya potensi besar untuk mengurangi GRK dan konsumsi. Kalau bauran pembangkit listrik kita seperti saat ini, HEV lebih bersih dibandingkan listrik yang full (battery)," jelas Purwanto.
Dilema ini disebabkan oleh ketergantungan Indonesia pada batu bara sebagai sumber pembangkit yang paling murah. Menurut Purwanto, "Ekonomi Indonesia masih menempatkan prioritas ekonomi di atas tujuan iklim."
Pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik berbasis baterai sebesar 600 ribu unit untuk roda empat atau lebih dan 2,45 juta unit untuk roda dua pada 2030. Target ini diproyeksikan dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 3,8 juta ton.
Potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia sangat besar, mencapai 3,6 terawatt (TW). Namun, pemanfaatannya masih kurang dari 1%. Pemerintah telah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada 2025.
Mengatasi dilema ini membutuhkan solusi komprehensif. Selain mengembangkan mobil listrik, pemerintah perlu mempercepat transisi ke EBT dan mengurangi ketergantungan pada batu bara. Hal ini akan memberikan kontribusi signifikan dalam upaya mengurangi emisi GRK dan mencapai target NZE 2060.