Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, sebuah insiden kecil dapat memicu perdebatan yang lebih besar mengenai tata tertib dan keselamatan bersama. Baru-baru ini, sebuah video yang menyebar luas di media sosial menunjukkan seorang pengendara motor yang tidak hanya nekat melawan arus di Jalan Prof Dr Satrio, Setiabudi, tetapi juga berani menyemprotkan cairan ke arah sekuriti yang mencoba menegurnya.
Kejadian ini bukan hanya tentang pelanggaran lalu lintas semata, melainkan juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat merespons teguran. Dalam video tersebut, tampak jelas bahwa pengendara motor tersebut tidak terima ketika ditegur oleh sekuriti untuk tidak melawan arus. Alih-alih mematuhi, ia malah menyemprotkan cairan—yang diduga parfum—ke wajah sekuriti tersebut.
Peristiwa ini mengundang banyak pertanyaan. Apakah sudah menjadi budaya kita untuk menolak ditegur? Apakah ego dan marah menjadi respons instan kita ketika dihadapkan dengan kesalahan yang kita lakukan? Insiden ini bukan hanya mencerminkan perilaku individu tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya edukasi dan sosialisasi tata tertib lalu lintas yang berkelanjutan.
Jusri Pulubuhu dari Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) menekankan bahwa perilaku melawan arus bukan hanya kebiasaan tapi sudah menjadi budaya yang beregenerasi karena adanya pembiaran. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan sinergi dari dinas terkait dan upaya kolaborasi dengan instansi lain untuk sosialisasi yang berkelanjutan.
Insiden di Setiabudi ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Teguran adalah bagian dari usaha menjaga ketertiban dan keselamatan bersama. Marah dan melakukan tindakan balasan tidak akan menyelesaikan masalah, malah dapat memperburuk situasi.
Mari kita renungkan bersama, bagaimana kita dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan tertib untuk semua.