Salah satu tantangan terbesar dalam industri otomotif saat ini adalah transisi dari mobil bermesin bahan bakar minyak (BBM) ke mobil bertenaga listrik. Banyak produsen otomotif yang telah menetapkan target untuk menghentikan produksi mobil bermesin BBM dan beralih ke mobil listrik dalam waktu dekat. Namun, ternyata target tersebut tidak mudah dicapai, karena permintaan mobil listrik masih rendah di pasar global.
Salah satu contoh adalah Mercedes-Benz, salah satu perusahaan otomotif ternama asal Jerman. Mercedes-Benz awalnya menargetkan untuk meng-elektrifikasi seluruh produknya pada tahun 2025. Namun, pada 22 Februari 2024, CEO Ola Kaellenius mengumumkan bahwa target tersebut ditunda hingga tahun 2030. Alasannya, penjualan mobil listrik Mercedes-Benz hanya menyumbang 11 persen dari total penjualan pada tahun 2023. Jumlah tersebut bertambah menjadi 19 persen jika ditambah dengan mobil hybrid.
Kaellenius mengatakan bahwa Mercedes-Benz akan terus memproduksi dan mengembangkan mobil bermesin BBM hingga dekade berikutnya, karena permintaan pasar masih tinggi. Dia juga mengatakan bahwa Mercedes-Benz berada pada posisi yang tepat untuk menghadapi tantangan transisi ke mobil listrik, karena memiliki teknologi dan kapasitas yang cukup.
Mercedes-Benz bukan satu-satunya produsen otomotif yang menunda target elektrifikasi. Ford, salah satu produsen otomotif terbesar asal Amerika Serikat, juga menghapus target produksi mobil listrik yang sebelumnya ditetapkan sebanyak 2 juta unit pada tahun 2026. Ford mengatakan bahwa mereka tidak tahu kapan akan bisa mencapai target tersebut, karena permintaan mobil listrik masih minim.
General Motors (GM), produsen otomotif lainnya dari Amerika Serikat, juga mengubah rencana produksi mobil listriknya. GM awalnya menargetkan untuk memproduksi 400.000 mobil listrik antara tahun 2022 hingga 2024. Namun, pada akhir tahun 2023, GM membatalkan rencana tersebut, dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. GM juga melakukan pemangkasan tenaga kerja sebesar 10 persen.
Tidak hanya produsen otomotif, negara-negara juga mengalami kesulitan untuk mendorong penggunaan mobil listrik. Inggris, misalnya, awalnya menetapkan target untuk menjual 100 persen mobil listrik pada tahun 2030. Namun, pada akhir tahun 2023, Perdana Menteri Rishi Sunak mengumumkan bahwa target tersebut ditunda hingga tahun 2035. Sunak mengatakan bahwa target tersebut akan memberatkan banyak keluarga di Inggris, karena harga mobil listrik masih tergolong tinggi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan permintaan mobil listrik masih rendah, di antaranya adalah harga yang masih mahal, infrastruktur pengisian daya yang belum memadai, ketersediaan baterai yang terbatas, dan preferensi konsumen yang masih menyukai mobil bermesin BBM. Selain itu, pandemi Covid-19 juga berdampak negatif pada industri otomotif, termasuk mobil listrik, karena menurunkan daya beli masyarakat dan mengganggu rantai pasokan.
Meskipun demikian, banyak pihak yang masih optimis bahwa mobil listrik akan menjadi masa depan transportasi yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Beberapa produsen otomotif, seperti Tesla, Volkswagen, dan Hyundai, masih berkomitmen untuk meningkatkan produksi dan penjualan mobil listrik. Beberapa negara, seperti China, Norwegia, dan Prancis, juga memberikan insentif dan regulasi untuk mendorong penggunaan mobil listrik.
Mobil listrik memang memiliki banyak keunggulan, seperti tidak mengeluarkan emisi gas rumah kaca, memiliki biaya operasional dan perawatan yang lebih rendah, dan memiliki performa yang lebih baik. Namun, untuk mencapai target elektrifikasi, diperlukan kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak, seperti pemerintah, produsen otomotif, penyedia energi, dan konsumen.